BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemahaman
produksi dari ranah kacamata Islam, dituliskan dalam bukunya Lukman Hakim ialah
bentuk usaha keras dalam pengembangan faktor-faktor sumber yang diperbolehkan
secara syariah dan melipatgandakan pendapatan dengan tujuan kesejahteraan
masyarakat, menopang eksistensi, serta meninggikan derajat manusia
(At-Tariqi:2004). Prinsip produksi dalam Islam menggunakan prinsip-prinsip yang
sesuai dengan syariat Islam.
Mayoritas
ahli ekonomi memfokuskan perhatiannya pada produksi. Mereka berusaha keras
meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Namun, bertambahnya jumlah
produksi tak lantas membuat masyarakat sejahtera. Karena pola perilaku konsumsi
mereka yang tidak sesuai. Oleh karena itu, dalam Islam konsumen diatur dengan
tegas dan jelas.
Perbedaan
kepemilikan (harta) dalam kehidupan manusia merupakan hukum dan ketentuan dari
Allah yang mempunyai banyak hikmah dan maknanya bagi kehidupan manusia.
Perbedaan itulah yang merupakan bagian upaya manusia untuk bisa memahami nikmat
Allah, sekaligus memahami kedudukan sesamanya. Bagi manusia yang mempunyai
kelebihan dalam kepemilikan, maka ada perintah Allah untuk mendistribusikan
sebagian hartanya kepada orang lain. Kata distribusi inilah yang menjadi aspek
penting dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan.
Berdasarkan
uraian di atas, kami akan membahas tentang etika bisnis Islam terkait produksi,
distribusi dan konsumsi dengan mengambil judul “Etika Bisnis dalam Produksi,
Distribusi dan Konsumsi”, guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan produksi, distribusi, dan konsumsi ?
2. Apa
tujuan dari kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi ?
3. Apa
saja prinsip-prinsip produksi, distribusi dan konsumsi ?
4. Bagaimana
etika bisnis dalam produksi, distribusi dan konsumsi ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari produksi, distribusi, dan konsumsi.
2. Untuk
mengetahui tujuan dari produksi, distribusi dan konsumsi.
3. Untuk
mengetahui prinsip-prinsip produksi, distribusi dan konsumsi.
4. Untuk
mengetahui etika bisnis dalam produksi, distribusi dan konsumsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PRODUKSI
1.
Pengertian
Produksi
Produksi
adalah kegiatan yang dilakukan manusia dalam menghasilkan suatu produk, baik
barang maupun jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen (Sukirno, 2002).
Secara teknis, produksi dapat diartikan sebagai proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam ilmu ekonomi mencakup tujuan
kegiatan yang menghasilkan output
serta karakter-karakter yang melekat padanya.
Beberapa
ekonomi Muslim turut pula mendefinisikan mengenai produksi dalam perspektif
Islam, yaitu sebagai berikut.
a. Kahf
(1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha
manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik material, tetapi juga
moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan
dalam agama, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Siddiqi
(1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa
dengan memerhatikan nilai keadilan dan kemanfaatan (maslahah) bagi masyarakat.
Dalam pandangannya, selama produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan
bagi masyarakat, ia telah bertindak Islami.
c. Muhammad
Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata
al-intaj, yang secara harfiah
dimaknai dengan ijadu sil’atin
(mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu
mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu
zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya
bantuan penggabungan unsur-unsur produksi, yang terbingkai dalam waktu yang
terbatas).
d. Hal
senada juga diutarakan oleh Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya, muqaddimah fi’ilm al-iqtishad al-islamy.
Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi,
dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam
pandangannya harus mengacu pada nilai utility
dan masih dalam bingkai nilai “halal” serta tidak membahayakan bagi diri
seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini Abdurrahman
merefleksikan pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 219 yang
menjelaskan pertanyaan dari manfaat memakai (memproduksi) khamr.[1]
e. Al-Haq
menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa
yang merupakan fardhu kifayah, yaitu
kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
Berdasarkan
definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa produksi merupakan
proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan dan
memberi maslahah bagi manusia.[2]
2.
Tujuan
Produksi
Tujuan
produksi dalam islam sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan diciptakan
dan diturunkannya manusia ke muka bumi, yaitu sebagai khalifah Allah di muka
bumi (QS.Al-Baqarah:30), pemakmur bumi (QS.Hud:61), yang diciptakan untuk
beribadah kepada-Nya (QS.Adz-Dzariyat:56). Dengan memahami tujuan penciptaan
manusia tersebut, kita lebih mudah memahami tujuan produksi dalam Islam.
Sebagai khalifah, manusia mendapat amanat untuk memakmurkan bumi. Ini berarti
bahwa manusia diharapkan campur tangan dalam proses-proses untuk mengubah dunia
dari apa adanya menjadi apa yang seharusnya. Sejalan dengan berlakunya hukum
alam (sunnatullah), alam telah
dirancang oleh Allah untuk tunduk pada kepentingan manusia, dirancang dan
dimaksudkan untuk memenuhi kesejahteraan manusia.
Karena
itu, mereka harus melakukan berbagai aktivitas termasuk di bidang ekonomi
diantaranya berproduksi. Melakukan aktivitas produksi merupakan kewajiban
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga tercapai kesejahteraan lahir dan
batin. Semua aktivitas ekonomi tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari ibadah
dan rasa syukur kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta, sebagai
rahmat dan karunia yang diberikan-Nya kepada manusia.
Produksi
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok umat manusia dan berusaha
agar setiap orang dapat hidup dengan layak, sesuai dengan martabatnya sebagai
khalifah Allah. Dengan kata lain, tujuan produksi adalah tercapainya
kesejahteraan ekonomi.
Dalam
ekonomi konvensional, tujuan produksi secara makro adalah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam mencapai kemakmuran nasional suatu negara. Secara
mikro, tujuan produksi meliputi:
a. Menjaga
kesinambungan usaha perusahaan dengan jalan meningkatkan proses produksi secara
terus-menerus,
b. Meningkatkan
keuntungan perusahaan dengan cara meminimumkan biaya produksi,
c. Meningkatkan
jumlah dan mutu produksi,
d. Memperoleh
kepuasan dari kegiatan produksi, dan
e. Memenuhi
kebutuhan dan kepentingan produsen serta konsumen.
Terlihat
bahwa diantara tujuan produksi dalam ekonomi konvensional adalah untuk
memperoleh laba sebesar-besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam Islam yang
bertujuan untuk memberikan mashlahah yang maksimum bagi konsumen.[3] Walaupun
dalam ekonomi Islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan maslahah, memperoleh
laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.
Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan
kemashlahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk di antaranya :
a. Pemenuhan
kebutuhan manusia pada tingkat moderat
Hal ini akan menimbulkan setidaknya dua implikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan
barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu merupakan keinginan
konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi
kehidupan yang Islami. Kedua,
kuantitas produksi tidak berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.
Produksi barang dan jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi
sumber daya ekonomi dan kemubadziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya
sumber daya ekonomi ini secara cepat.
b. Menemukan
kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya
Meskipun produksi hanya menyediakan sarana kebutuhan
manusia tidak berarti bahwa produsen sekedar bersikap reaktif terhadap
kebutuhan konsumen. Produsen harus proaktif, kreatif dan inovatif menemukan
berbagai barang dan jasa yang memang dibutuhkan oleh manusia. Sikap proaktif
ini juga harus berorientasi ke depan, dalam arti: Pertama, menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi
kehidupan masa mendatang; Kedua,
menyadari bahwa sumber daya ekonomi, baik natural
resources atau non natural resources,
tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi juga untuk
generasi mendatang.
c. Menyiapkan
persediaan barang dan jasa di masa depan
Orientasi ke depan ini akan mendorong produsen untuk
terus menerus melakukan riset dan pengembangan guna menemukan berbagai jenis
kebutuhan, teknologi yang diterapkan, serta berbagai standar lain yang sesuai
dengan tuntutan masa depan.
d. Pemenuhan
sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah
Ini merupakan tujuan produksi yang paling orisinil
dari ajaran Islam. Dengan kata lain, tujuan produksi adalah mendapatkan berkah,
yang secara fisik belum tentu dirasakan oleh pengusaha itu sendiri.
Dengan
demikian, tujuan produksi dalam Islam adalah untuk memenuhi segala bentuk
kebutuhan hidup manusia. Dengan terpenuhinya kebutuhan manusia ini diharapkan
bisa tercipta kemaslahatan atau kesejahteraan baik bagi individu maupun
kolektif.[4]
3.
Prinsip-Prinsip
Produksi
Prinsip
fundamental yang harus diperhatikan dalam produksi adalah kesejahteraan ekonomi
yang merupakan salah satu tujuan kegiatan produksi. Kesejahteraan ekonomi tidak
hanya menjadi tujuan ekonomi Islam, dalam sistem kapitalis terdapat pula konsep
memproduksi barang dan jasa yang didasarkan pada asas kesejahteraan ekonomi.
Hanya saja, kesejahteraan menurut ekonomi Islam tidak boleh mengabaikan
pertimbangan kesejahteraan umum yang menyangkut persoalan-persoalan moral,
pendidikan, agama dan sebagainya, berbeda dengan ekonomi kapitalis yang
mengukur kesejahteraan ekonomi dari segi materi semata.
Dapat
dikatakan bahwa tujuan produksi dalam Islam adalah untuk menciptakan maslahah
yang optimum bagi individu ataupun manusia secara keseluruhan. Dengan maslahah
optimum ini, maka akan dicapai falah
(keberuntungan) yang merupakan tujuan akhir dari kegiatan ekonomi sekaligus
tujuan hidup manusia. Falah adalah
kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat yang akan memberikan kebahagiaan yang
hakiki bagi manusia. Kemuliaan dan harkat martabat manusia harus mendapat
perhatian utama dalam keseluruhan aktivitas produksi.
Sejalan
dengan tujuan produksi dalam Islam di atas, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan
dalam produksi yang dikemukakan Muhammad alMubarak, yakni:
a. Dilarang
memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan
dengan syariah,
b. Dilarang
melakukan kegiatan produksi yang mengarah kepada kedzaliman,
c. Larangan
melakukan ikhtikar (penimbunan barang), dan
d. Memelihara
lingkungan, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian dan ketersediaan
sumber daya alam.[5]
4.
Etika
Bisnis dalam Produksi
Etika dalam berproduksi, sejak dari
kegiatan mengorganisasi faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan
pelayanan kepada konsumen, semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Metwally
(1992) mengatakan bahwa perbedaan dari perusahaan-perusahaan non islami tak
hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi
pasar. Produksi barang dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan
manusia dari nilai-nilai religius tidak diperbolehkan. Adapun nilai yang
penting dalam memproduksi adalah sebagai berikut:
a. Ihsan dan Itqan
(Sungguh-Sungguh) dalam Berusaha
M.Abdul
Mun’in al-Jamal, dalam hal ini mengemukakan hal yang sama bahwa usaha dan
peningkatan produktivitas dalam pandangan Islam adalah sebagai ibadah, bahkan
aktivitas perekonomian ini dipandang semulia-mulianya nilai. Karena hanya
dengan bekerja setiap individu dapat memenuhi hajat hidupnya, keluarganya,
karib kerabatnya, juga memberikan pertolongan serta ikut berpartisipasi dalam
mewujudkan kemaslahatan umum.
b. Iman, Taqwa,
Maslahah, dan Istiqamah
Iman, taqwa,
dan istiqamah merupakan pendorong yang sangat kuat untuk memperbesar produksi
melalui kerja keras dengan baik, ikhlas, dan jujur serta amanah dalam melakukan
kegiatan produksi yang dibutuhkan untuk kepentingan umat, agama, dan dunia.
c. Bekerja pada
Bidang yang Dihalalkan Allah
Selanjutnya,
akhlak utama yang harus diperhatikan seorang Muslim dalam bidang produksi
secara pribadi maupun kolektif adalah bekerja pada bidang yang dihalalkan
Allah. Oleh karena itu, setiap usaha yang mengandung unsur kedzaliman dan
mengambil hak orang lain dengan jalan yang bathil, sangat tidak dibenarkan
menurut syariat dan diharamkan oleh Islam.[6]
Penerapan
nilai-nilai di atas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi
produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah
yang diperoleh oleh produsen merupakan satu maslahah
yang akan memberi konstribusi bagi tercapainya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan
hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.
B.
DISTRIBUSI
1.
Pengertian
Distribusi
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, distribusi adalah penyaluran (pembagian,
pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang
keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada
pegawai negeri, penduduk dsb.[7] Berikut
ini dikemukakan pendapat dari beberapa ahli antara lain:
a. Gugup
Kismono (2001: 364), distribusi adalah perpindahan barang dan jasa dari
produsen ke pemakai industri dan konsumen.
b. Sofyan
Assauri (2004: 83), distribusi merupakan suatu lembaga yang memasarkan produk,
yang berupa barang atau jasa dari produsen ke konsumen.
c. Distribusi
adalah kegiatan yang terlibat dalam pengadaan dan penggunaan semua bahan yang
dipergunakan untuk memproduksi barang jadi. Kegiatan ini meliputi pengendalian
produksi dan penanganan bahan dan penerimaan. (CharlesA. Taff, 1998: 87)
d. Fandi
Tjiptono (2002: 73), distribusi diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang
berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen
ke konsumen atau pemakai.[8]
Jadi,
distribusi menurut para ahli ekonomi adalah merupakan suatu proses penyaluran
atau penyampaian hasil produksi berupa barang/jasa dari produsen ke konsumen/pemakai
guna memenuhi kebutuhan manusia, baik primer maupun sekunder. Penyaluran barang
dan jasa kepada konsumen dan pemakainya mempunyai peran penting dalam kegiatan
produksi dan konsumsi. Tanpa distribusi, barang atau jasa tidak akan sampai
dari produsen ke konsumen, sehingga kegiatan produksi dan konsumsi tidak
lancar. Sebagai jembatan antara produsen dan konsumen, distribusi mempunyai
peran signifikan dalam perputaran roda perekonomian masyarakat ataupun negara.
2.
Tujuan
Distribusi
Ekonomi
Islam datang dengan sistem distribusi yang merealisasikan beragam tujuan yang
mencakup berbagai bidang kehidupan serta memiliki andil bersama sistem dan
politik syari’ah lainnya dalam merealisasikan tujuan umum Syari’ah. Dimana
tujuan distribusi dalam ekonomi Islam dikelompokkan kepada tujuan dakwah,
pendidikan, sosial dan ekonomi, sebaga berikut:
a. Tujuan
Dakwah
Yang dimaksud dakwah disini adalah dakwah kepada
Islam dan menyatukan hati kepadanya. Diantaranya contoh yang paling jelas
adalah bagian muallaf di dalam zakat.
Pada sisi lain pemberian zakat kepada mualaf juga
memilki dampak dakwah terhadap orang yang menunaikan zakat itu sendiri,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 265 :
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# cqà)ÏÿYã ãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁã ×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇËÏÎÈ
Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan
lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha
melihat apa yang kamu perbuat.”
b. Tujuan
Pendidikan
Di antara tujuan pendidikan dalam distribusi adalah
seperti yang disebut dalam firman Allah SWT dalam surah At-Taubah ayat 103 :
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda. Zakat itu juga menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda.
Secara umum, distribusi dalam perspektif ekonomi
dapat mewujudkan beberapa tujuan pendidikan, diantaranya Pertama, pendidikan terhadap akhlak terpuji seperti suka memberi,
berderma dan mengutamakan orang lain. Kedua,
mensucikan dari akhlak tercela, seperti pelit dan mementingkan diri sendiri
(egois).
c. Tujuan
Sosial
1) Memenuhi
kebutuhan kelompok yang membutuhkan, dan menghidupkan kelompok prinsip
solidaritas di dalam masyarakat muslim.
2) Menguatkan
ikatan cinta dan kasih sayang di antara individu dan kelompok di dalam
masyarakat.
3) Mengikis
sebab-sebab kebencian dalam masyarakat yang akan berdampak pada terealisasinya
keamanan dan ketentraman masyarakat. Contoh, distribusi yang tidak adil dalam
pemasukan dan kekayaan akan berdampak pada kelompok dan daerah miskin, dan
bertambahnya tingkat kriminalitas yang berdampak pada ketidaktentraman. Namun
distribusi akan menghindarkan terjadinya hal-hal tersebut, yang secara bersama
orang miskin dan kaya akan mendapat manfaat dari keadilan distribusi.
4) Keadilan
dalam distribusi mencakup:
a) pendistribusian
sumber-sumber kekayaan;
b) pendistribusian
pemasukan diantara unsur-unsur produksi,
c) pendistribusian
di antara kelompok masyarakat yang ada dan keadilan dalam pendistribusian di
antara generasi sekarang dan yang akan datang.
d. Tujuan
Ekonomi
1) Pengembangan
harta dan pembersihannya, karena pemilik harta ketika menginfakkan sebagian
hartanya kepada orang lain, baik infak wajib maupun sunnah, akan mendorongnya
untuk menginvestasikan hartanya, sehingga tidak akan habis karena zakat.
2) Memberdayakan
sumber daya manusia yang menganggur dengan terpenuhi kebutuhan tentang harta
atau persiapan yang lazim untuk melaksanakannya dengan melakukan kegiatan
ekonomi. Pada sisi lain sistem distribusi dalam ekonomi Islam dapat
menghilangkan faktor-faktor yang menghambat seseorang dari andil dalam kegiatan
ekonomi seperti utang yang membebani orang yang berhutang atau hamba sahaya
yang terikat untuk merdeka.
3) Andil
dalam merealisasikan kesejahteraan ekonomi, dimana tingkat kesejahteraan
ekonomi berkaitan dengan tingkat konsumsi. Sedangkan tingkat konsumsi tidak
hanya berkaitan dengan pemasukan saja, namun juga berkaitan dengan cara
pendistribusian di antara individu masyarakat. Oleh karena itu kajian tentang
cara distribusi yang dapat merealisasikan tingkat kesejahteraan ekonomi terbaik
bagi umat adalah suatu keharusan.
4) Penggunaan
terbaik terhadap sumber ekonomi, hal ini dapat dicermati dari beberapa contoh
di bawah ini :
a) Ketika
sebagian harta orang kaya yang diberikan untuk kemashlahatan orang-orang
miskin, maka kemanfaatan total bagi pemasukan umat menjadi bertambah.
b) Ketika
distribusi ekonomi dilakukan dengan adil, maka individu diberikan sebagian
sumber-sumber umum sesuai kebutuhannya, dengan syarat ia memiliki kemampuan
untuk mengeksplorasinya, yang selanjutnya tidak akan menguasai sumber-sumber
yang diterlantarkan atau buruk penggunaannya.[9]
3.
Prinsip-Prinsip
Distribusi
Distribusi
menempati posisi penting dalam teori ekonomi mikro Islam karena pembahasan
distribusi tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial
dan politik. Distribusi harta kekayaan merupakan masalah yang sangat urgent dalam mewujudkan pemerataan
ekonomi masyarakat. Agar distribusi memberikan signifikansi yang memadai, maka
perlu diperhatikan prinsip-prinsip distribusi sebagai berikut :
a. Prinsip
Keadilan dan Pemerataan
Keadilan dalam distribusi dimaksudkan sebagai suatu
kebebasan melakukan aktivitas ekonomi yang berada dalam bingkai etika dan
norma-norma islam. Sesungguhnya kebebasan yang tidak terbatas sebagaimana
dianut ekonomi kapitalis akan mengakibatkan ketidakserasian antara pertumbuhan
produksi dengan hak-hak orang-orang yang tidak mapu dalam ekonomi sehingga
mempertajam jurang pemisah antara orang-kaya dan orang-orang miskin yang pada
akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial. Distribusi dalam ekonomi kapitalis
dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi
semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh
kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan faktor produksi yang dimilikinya
dengan tidak memperhatikan apakah
pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau
hanya bagi sebagian saja.
Karena itu, Islam menegaskan bahwa dalam harta
orang-orang kaya terdapat hak yang harus didistribusikan kepada orang-orang
miskin, sehingga harta itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang kaya (QS.
Al-Hasyr:7) sementara orang-orang miskin hidup dalam kekurangan dan
penderitaan. Sejak dini, Islam mewajibkan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat
harta (mal) dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi di kalangan masyarakat
sehingga muncul ketenangan dan kebahagian bersama (QS At-Taubah;103), terhindar
dari segala bentuk kejahatan, kedengkian, dan kezaliman.
Prinsip keadilan dan pemerataan dalam distribusi
mengandung maksud. Pertama, kekayaan
tidak boleh dipusatkan pada sekelompok orang saja, tetapi harus menyebar kepada
seluruh masyarakat. Islam menginginkan persamaan kesempatan dalam meraih harta
kekayaan, terlepas dari tingkatan sosial, kepercayaan, dan warna kulit. Kedua, hasil-hasil produksi yang
bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara adil. Ketiga, Islam tidak mengizinkan tumbuhnya harta kekayaan yang tidak
melampaui batas-batas yang wajar apalagi jika diperoleh dengan cara yang tidak
benar. Untuk mengetahui pertumbuhan dan pemusatan, Islam melarang penimbunan
harta (ihtikar) dan memerintahkan
untuk membelanjakannya demi kesejahteraan masyarakat.
b. Prinsip
Persaudaraan dan Kasih Sayang
Konsep persaudaraan (ukhuwah) dalam Islam menggambarkan solidaritas individu dan sosial
dalam masyarakat Islam yang tercermin dalam pola hubungan sesama muslim. Rasa
persaudaraan harus ditanam dalam hati sanubari umat Islam sehingga tidak
terpecah belah oleh kepentingan duniawi. Distribusi harta kekayaan dalam Islam,
sesungguhnya sangat memperlihatkan prinsip ini. Zakat, wakaf, sedekah, infak,
nafkah, waris, dan sebagainya diberikan kepada umat islam agar ekonomi mereka
semakin baik. Prinsip persaudaraan dan kasih sayang ini digambarkan dalam
firman Allah QS.Al Hujurat ayat 10.
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”
c. Prinsip
Solidaritas Sosial
Prinsip solidaritas sosial dalam ekonomi islam
mengandung beberapa elemen dasar, yaitu: (1) sumber daya alam harus dinikmati
oleh semua makhluk Allah, (2) adanya perhatian terhadap fakir miskin terutama
oleh orang-orang kaya, (3) kekayaan tidak boleh dinimati dan hanya beredar
dikalangan orang-orang kaya saja, (4) adanya perintah Allah untuk berbuat baik
kepada orang lain, (5) umat islam yang tidak punya kekayaan dapat menyumbangkan
tenaganya untuk kegiatan sosial, (6) Larangan berbuat baik karena ingin dipuji
orang (riya), (7) larangan memberikan bantuan yang disertai dengan perilaku
menyakiti, (8) distribusi zakat harus diberikan kepada orang-otang yang telah
disebutkan dalam Al-Quran sebagai pihak yang berhak menerimanya (mustahiq zakat), (9) anjuran untuk
mendahulukan distribusi harta kepada orang-orang yang menjadi tanggungan
kemudian kepada masyarakat, (10) anjuran agar distribusi disertai dengan doa
agar tercapai ketenangan batin dan kestabilan ekonomi masyarakat, dan (11) larangan
berlebihan (boros) dalam distribusi ekonomi di kalangan masyarakat.[10]
4.
Etika
Bisnis dalam Distribusi
Etika
distribusi merupakan studi moral atau segala hal yang harus dilakukan di dalam
melakukan kegiatan distribusi menurut pandangan Islam, yaitu :
a. Selalu
menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas;
b. Transparan
dan barangnya halal serta tidak membahayakan;
c. Adil
dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam;
d. Tolong
menolong, toleransi dan sedekah;
e. Tidak
melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi;
f. Tidak
pernah lalai ibadah karena kegiatan distribusi;
g. Larangan
ikhtikar. Ikhtikar yaitu secara sengaja menahan atau menimbun barang, terutama
saat terjadi kelangkaan dengan tujuan untuk menaikkan harga di kemudian hari;
h. Mencari
keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari keuntungan yang
semaksimal mungkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa
memikirkan orang lain;
i.
Distribusi kekayaan yang meluas. Islam
mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil dan menganjurkan distribusi
kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat;
j.
Kesamaan sosial, maksudnya dalam
pendistribusian tidak ada diskriminasi atau berkasta-kasta, semuanya sama dalam
mendapatkan ekonomi.
Ditambahkan
pula oleh Muhammad dan Alimin, bahwa pada prinsipnya etika distribusi mengenai
:
1) Kecepatan
dan ketetapan waktu.
2) Keamanan
dan keutuhan barang.
3) Sarana
kompetisi memberikan pelayanan kepada masyarakat.
4) Konsumen
mendapatkan pelayanan cepat dan tepat.[11]
C.
KONSUMSI
1.
Pengertian
Konsumsi
Konsumsi
dari bahasa Belanda consumptie ialah
suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda,
baik berupa barang maupun jasa,
untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Konsumsi
secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang
sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan
mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari
konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah
islamiyyah.
Menurut
Chaney, konsumsi adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang lakukan
sehingga dapat dipakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain (sebagai
tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup.
Menurut
Braudrillard, konsumsi adalah sistem yang menjalankan urutan tanda-tanda dan
penyatuan kelompok. Jadi, konsumsi itu sekaligus sebagai moral (sebuah sistem ideologi)
dan sistem komunikasi, struktur pertukaran. Dengan konsumsi sebagai moral, maka
akan menjadi fungsi sosial yang memiliki organisasi yang terstruktur yang
kemudian memaksa mereka mengikuti paksaan sosial yang tak disadari.[12]
Teori
konsumsi Islami berbeda dengan konvensional. Perbedaan ini dilihat dari
karakteristik nilai konsumsi berikut.
Karakteristik
|
Keinginan
|
Kebutuhan
|
Sumber
|
Hasrat (nafsu) manusia
|
Fitrah Manusia
|
Hasil
|
Kepuasan
|
Manfaat dan Berkah
|
Ukuran
|
Preferensi atau Selera
|
Fungsi
|
Sifat
|
Subjektif
|
Objektif
|
Tuntunan Islam
|
Dibatasi/dikendalikan
|
Dipenuhi
|
Pertama,
konsumsi dalam Islam bersumber dari fitrah manusia yang suci yang bersumber
dari aturan-aturan agama. Aturan-aturan ini mengatur apa yang dibolehkan dan
apa yang dilarang, bukan berdasarkan hasrat atau nafsu. Kalau manusia melakukan
kegiatan konsumsi berdasarkan nafsu, maka nafsu akan cenderung untuk
mendorongnya kepada kejelekan, sebaliknya ketika apabila berdasarkan fitrah
maka fitrah akan mendorongnya kepada kebaikan.
Kedua,
dari segi hasil yang akan dicapai dalam teori konsumsi Islami adalah manfaat
dan berkah, berbeda dengan konvensional yang dituju adalah kepuasan.
Perbedaannya ketika kepuasan menjadi sasaran utama terkadang mengabaikan
manfaat dan berkah, sebaliknya ketika manfaat dan berkat yang menjadi hasil,
maka kepuasan akan mengikutinya setelah itu. Kepuasan ini terkadang hanya
berasal dari keinginan yang mengikuti nafsu, sehingga terkadang sesuatu yang
dikonsumsi tersebut sebenarnya bukanlah berasal dari kebutuhan.
Ketiga,
ukuran dari konsumsi Islami berbeda dengan konvensional, teori konsumsi Islam
menjadikan fungsi sebagai ukuran, bukan preferensi atau selera, sehingga
pemenuhannya asal sesuai fungsi atau tepat guna maka sudah tepat ukurannya.
Berbeda jika ukurannya adalah selera, selera akan membuka pintu untuk
bermewah-mewah, boros dan mubazir, sehingga ukurannya menjadi tidak stabil.
Keempat,
sifat dari konsumsi juga berbeda, ketika konsumsi bedasarkan sifatnya maka
keinginan akan menjadi sangat subjektif karena masing-masing orang akan sangat
berbeda keinginannya, sementara jika sifatnya adalah kebutuhan maka lebih
objektif, karena kebutuhan akan memiliki standar dan strata tersendiri, mulai
dari yang paling pokok sampai dengan kebutuhan yang tersier atau mewah.
Kelima,
dari segi tuntunan Islam atau etika Islam keinginan harus dibatasi, karena
keinginan manusia tidak akan ada batasnya kalau tidak dibatasi, sementara kebutuhan
harus dipenuhi. Setiap manusia secara pribadi wajib untuk berusaha, bekerja dan
bertanggungjawab memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan pokoknya. Kalau ia
tidak sanggup maka negara melalui pemimpin wajib bertanggung jawab terhadap
terpenuhinya kebutuhannya. Kewajiban ini adalah untuk memenuhi kebutuhan
manusia, dan bukan keinginan. Kebutuhan standar masing-masing manusia memiliki
kriteria yang sama dalam Islam yang terangkum dalam maqasid al-syar’iyyah.[13]
2.
Tujuan
Konsumsi
Menurut
Al Haritsi di dalam jurnal Teori Ekonomi Islam (Pujiyono, 2006:199) konsumsi
bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam
mentaati Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam kehidupannya. Konsumsi
Islam juga akan menjauhkan seseorang dan sifat egois, sehingga seoarang muslim
akan menafkahkan hartanya untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infaq), fakir
miskin dan orang-orang yang mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada
penciptanya.[14]
Dalam
ekonomi konvensional konsumen diasumsikan selalu bertujuan memperoleh kepuasan
(utility) dalam kegiatan konsumsinya. Kepuasan berarti berguna, bisa membantu
dan menguntungkan. Oleh karena itu dalam ekonomi konvensional, konsumen
diasumsikan selalu menginginkan tingkat kepuasan yang tertinggi. Konsumen akan
memilih mengkomsumsi barang A atau B tergantung pada tingkat kepuasan yang
diberikan oleh kedua barang tersebut.
3.
Prinsip
Konsumsi
Aspek
penggunaan dari hasil produksi, tidak semata untuk memenuhi kepuasan nafsu.
Islam menuntut adanya kemaslahatan yang merata dikalangan umat manusia bukan
kemaslahatan segelintir orang. Bukan hanya itu, objek yang dikonsumsi pun
memiliki nilai kebaikan yang diambil dari usaha yang baik. Entah itu baik dalam
takaran islam, maupun baik untuk kesehatan.[15]
Menurut
Manan, sebagaimana yang dikutip oleh Sri Wigati, terdapat lima prinsip konsumsi
dalam Islam yaitu:
a. Prinsip
keadilan. Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal
dan tidak dilarang hukum.
b. Prinsip
kebersihan. Maksudnya adalah bahwa makanan harus baik, bersih lagi menyehatkan untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera (Q.S
An-Nahl/16 ayat 114).
c. Prinsip
kesederhanaan. Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minuman
yang tidak berlebihan. Prinsip ini juga menjadi pembelajaran untuk tidak
berlaku kikir kepada orang lain yang membutuhkan uluran tangan. Begitu pula
melatih untuk tidak berlaku boros dalam menggunakan harta. (QS. al-A’raf ayat
31)
d. Prinsip
kemurahan hati. Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa
ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhannya (QS.
Al-Maidah ayat 96)
e. Prinsip
moralitas. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah SWT. sebelum
makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.[16]
Adapun
kaidah/prinsip dasar konsumsi Islami menurut Haroni Doli H. Ritonga (2006)
adalah sebagai berikut:
1) Prinsip
syariah, terdiri dari:
a) Prinsip
tauhid, yaitu hakikat konsusmsi dalam rangka beribadah kepada Allah SWT., sehingga
senantiasa berada dalam pengawasan-Nya. Karena itu, orang mukmin berusaha
mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri
dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang diciptakan Allah untuk umat
manusia.
b) Prinsip
ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi mengetahui hukum yang berkaitan
dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari
zat, atau cara proses yang dilakukan produsen, maupun tujuan yang diinginkan, apakah
mendapatkan kemudharatan terhadap konsumsi barang atau jasa tersebut.
c) Prinsip
amaliah, sebagai konsekuensi tauhid dan ilmu yang telah diketahui tentang
konsumsi Islami tersebut. Seseorang ketika sudah beraqidah yang lurus dan
berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi konsumsi
yang haram/syubhat karena dapat menjerumuskan kepada kesesatan dan kesengsaraan
kelak di akhirat.
2) Prinsip
kuantitas, di antaranya:
a) Sederhana.
Allah sangat mengecam setiap perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk pemborosan dan
berlebih-lebihan (bermewah-mewahan) tanpa maksud yang jelas/manfaat dan hanya
memperturutkan hawa nafsu semata.
b) Sesuai
antara pemasukan dan pengeluaran artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan
dengan kemampuan/pemasukan seseorang dalam pendapatannya.
c) Menabung/Investasi.
Manusia harus menyiapkan masa depannya karena masa depan merupakan masa yang tidak
diketahui keadaan nantinya. Oleh sebabnya, semua kekayaan digunakan untuk
konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan.
3) Prinsip
prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar
tidak terjadi kemudharatan, sebagai berikut:
a) Primer,
yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan
menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya.
b) Sekunder,
yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih
baik.
c) Tersier,
yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan.
4) Prinsip
sosial, bahwa semangat saling ta’awun
dan memberi contoh keteladanan perilaku komsumsi serta memperhatikan maslahah umum dengan tidak membahayakan,
merugikan yang lain serta mengganggu ketertiban umum.
5) Kaidah
lingkungan bahwa perhatian kepada sumber daya alam yang ada dengan tidak
mengeksploitasi tanpa batas dan merusaknya.[17]
4.
Etika
Bisnis dalam Konsumsi
Secara umum etika
konsumsi dalam Islam meliputi:
a. Sederhana
tetapi efektif dan efesien.
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris effective yang berarti berhasil. Kata
efektif/efektivitas dalam kegiatan produksi dapat digambarkan dengan sejauh
mana tingkat output yang diinginkan tercapai. Sedangkan jika dikaitkan dengan
konsumsi maknanya adalah sejauh mana konsumsi tersebut berhasil mencapai
tujuan. Efesien berasal dari bahasa Inggris yaitu effeciency yang berarti tepat guna. Dalam pengertian ekonomi,
efesiensi mengandung arti penghematan dengan usaha menghasilkan keuntungan yang
sebesar-sebesarnya.
Gambaran efektif dan efesien tersebut adalah dengan
menggunakan harta secukupnya dalam nafkah dan belanja dan menetapkan skala
prioritas berdasarkan maqasid
al-syar’iyyah.
Dalam teori konsumsi Islam yang menjadi dasar adalah
kebutuhan. Kebutuhan manusia di dalam Islam tergambar dalam maqasid al-syar’iyyah (dharury, haajjy, tahsiny).
b. Memperhatikan
yang halal dan thayyib.
Sikap yang harus diperhatikan dalam konsumsi adalah
kehalalan suatu produk, baik berupa barang maupun jasa, juga kebaikan (thayyib) barang atau jasa tersebut.
Kehalalan suatu barang bisa dilihat dari barang atau jasanya secara zat dan
bisa juga dilihat dari segi prosesnya (maknawi).
Mengonsumsi suatu barang dan jasa yang halal
merupakan syarat utama bagi kehidupan manusia Muslim yang menghendaki kehidupan
yang lebih baik.[18]
c. Tidak
kikir, tidak mubazir dan boros.
Mubazir diartikan sebagai tidak memahami
tempat-tempat atau kondisi-kondisi kebutuhan, artinya seseorang yang tidak bisa
membedakan bahwa barang yang dimaksud apakah ia benar-benar membutuhkan atau
tidak. Sedangkan boros adalah tidak mengetahui kadar dari kebutuhan, artinya
seseorang yang menggunakan sesuatu secara berlebihan dari jumlah sesungguhnya
dari yang dibutuhkannya.
Adapun perilaku untuk menjauhi mubazir dan boros
tersebut bisa dilakukan dengan sikap berikut: (1) menjauhi hutang; (2) menjaga
aset yang pokok dan mapan; (3) hidup yang tidak bermewah-mewahan; (4) tidak
menghambur-hamburkan harta; dan (5) mempunyai batasan dalam menggunakan harta,
yaitu penggunaannya harus mempunyai tujuan yang dibenarkan Islam. Tujuan
pembatasan penggunaan harta adalah untuk pendidikan moral, pendidikan
masyarakat, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan, pendidikan militer dan
politik.
Rasulullah SAW juga melarang hal ini dalam sebuah
riwayat Abu Daud dan Ahmad: “Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah tanpa
berlebih-lebihan dan sombong” (HR. Abu Dawud).
d. Bersyukur
kepada Allah dan memperhatikan hak-hak orang lain.
Nikmat konsumsi yang didapatkan seseorang adalah
atas anugerah Allah SWT. Oleh karena itu hendaknya seseorang tidak lupa untuk
selalu bersyukur kepadaNya. Adapun cara untuk bersyukur adalah dengan selalu mengagungkanNya
dan berbagi kepada sesama.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Produksi
merupakan proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan dan
memberi maslahah bagi manusia. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan
dalam produksi, yakni: (1) dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas
yang tercela karena bertentangan dengan syariah; (2) dilarang melakukan
kegiatan produksi yang mengarah kepada kedzaliman; (3) larangan melakukan
ikhtikar (penimbunan barang), dan (4) memelihara lingkungan.
Distribusi
menurut para ahli ekonomi adalah merupakan suatu proses penyaluran atau
penyampaian hasil produksi berupa barang/jasa dari produsen ke konsumen/pemakai
guna memenuhi kebutuhan manusia, baik primer maupun sekunder. Dimana tujuan distribusi
dalam ekonomi islam dikelompokkan kepada tujuan dakwah, pendidikan, sosial dan
ekonomi. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu prinsip keadilan dan pemerataan; prinsip
persaudaraan dan kasih sayang; prinsip solidaritas sosial.
Konsumsi
berarti penggunaan barang atau jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi. Menurut
Al Haritsi, konsumsi bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah
kekuatan dalam mentaati Allah dan menjauhkan seseorang dari sifat egois. Adapun
prinsip konsumsi dalam Islam menurut Manan meliputi: prinsip keadilan,
kebersihan, kesederhanaan, kemurahan hati, dan moralitas.
B.
Saran
Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam
menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang
mmbangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat di
jadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.!
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al Arif, M. Nur Rianto. 2015. Pengantar Ekonomi Syariah (Teori Dan Praktik). Cet. I. Bandung: CV
Pustaka Setia. 2015.
Aravik, Havis. 2017. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Idri. Hadis
Ekonomi (Ekonomi Dalam Perspektif Hadis Nabi), (Cet. Iii, Jakarta: Kencana, 2017.
Jajuli, Sulaeman. 2018. Ekonomi Dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Karim, Bustanul. 2018. Prinsip Pembangunan Ekonomi Umat. Yogyakarta: Diandra Kreatif.
Subagyo, dkk. 2018. Akuntansi Manajemen Berbasis Desain. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
JURNAL
Ali,
Misbahul. “Prinsip Dasar Produksi”.
Jurnal Lisan Al-Hal, Vol. 5, No. 1, Juni 2013.
Al Mizan. “Konsumsi Menurut
Ekonomi Islam Dan Kapitalis”. Al Masraf (Jurnal Lembaga Keuangan Dan Perbankan),
Vol. 1, No.1, Januari-Juni 2016.
Baidhowi, Bagus. “Implementasi
Konsumsi Islami Pada Pengajar Pondok Pesantren (Studi Kasus Pada Pengajar
Pondok Pesantrenal Aqobah Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang)”. JESTT, Vol. 1,
No. 9, September 2014.
Pardanawati,
Sri Laksmi. “Perilaku Produsen Islam”.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 01, No. 01, Maret 2015.
Rofiah,
Khusniati. “Urgensi Etika Di Dalam Sistem
Bisnis Islam”. Justitia Islamica, Vol. 11, No. 2, Juli-Des 2014.
Sulfinadia, Hamda. “Solusi
Ekonomi Islam Terhadap Distribusi Harta”. Al-Masharif, Vol. 3, No. 1,
Januari-Juni 2015.
Widianita, Rika. “Rasionalitas
Konsumsi Rumah Tangga Muslim Kota Bukittinggi”.
Journal Of Economic
Studies, Vol. 1, No. 2, Januari-Juli 2017.
ARTIKEL/INTERNET
Hero
Tamo, “Etika Islam dalam Konsumsi” (http://herotamo.blogspot.com/2015/04/etika-islam-dalam-konsumsi.html,
diakses Sabtu, 18 April 2015)
Susi
Agustin, “Produksi dalam Pandangan Islam” (http://susiagustiin.blogspot.com/2017/06/produksi-dalam-pandangan-islam.html,
diakses Rabu, 07 Juni 2017)
[1] M. Nur Rianto Al Arif, Pengantar Ekonomi Syariah (Teori Dan
Praktik), (Cet. I, Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 210-211.
[2]Sri Laksmi Pardanawati, “Perilaku Produsen Islam”. Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, Vol. 01, No. 01, Maret 2015, h. 38-39.
[3]Idri, Hadis Ekonomi (Ekonomi Dalam Perspektif Hadis Nabi), (Cet. Iii, Jakarta: Kencana, 2017), h. 72-74.
[4] Misbahul Ali, “Prinsip Dasar Produksi”.Jurnal Lisan
Al-Hal. Vol. 5, No. 1, Juni 2013, h.21-22.
[5] Khusniati Rofiah, “Urgensi Etika Di Dalam Sistem Bisnis Islam”.
Justitia Islamica, Vol. 11, No. 2, Juli-Des 2014, h.178.
[6]Susi Agustin, “Produksi dalam
Pandangan Islam” (http://susiagustiin.blogspot.com/2017/06/produksi-dalam-pandangan-islam.html, diakses Rabu, 07 Juni 2017)
[7] Sulaeman Jajuli, 2018, Ekonomi Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: CV
Budi Utama), h. 113.
[8] Subagyo, dkk., 2018, Akuntansi Manajemen Berbasis Desain,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), h. 138.
[9] Hamda Sulfinadia, “Solusi Ekonomi Islam Terhadap Distribusi
Harta”. Al-Masharif Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 56-59.
[10]Idri, Hadis Ekonomi (Ekonomi Dalam Perspektif Hadis Nabi)....., h.150-154.
[11]Khusniati Rofiah, “Urgensi Etika Di Dalam Sistem Bisnis Islam”.......,
h. 180-181.
[12] Hero
Tamo, “Etika Islam Dalam Konsumsi” (http://herotamo.blogspot.com/2015/04/etika-islam-dalam-konsumsi.html, diakses
Sabtu, 18 April 2015)
[13] Ikhawan Aulia Fatahillah, “Implementasi Konsep Etika Dalam Konsumsi
Perspektif Ekonomi Islam”. Jurnal Hukum Islam, Vol. XIII, No. 1 Nopember 2013, h. 158-159.
Perspektif Ekonomi Islam”. Jurnal Hukum Islam, Vol. XIII, No. 1 Nopember 2013, h. 158-159.
[14] Bagus Baidhowi, “Implementasi Konsumsi Islami Pada Pengajar
Pondok Pesantren (Studi Kasus Pada Pengajar Pondok Pesantrenal Aqobah Kecamatan
Diwek Kabupaten Jombang)”. JESTT Vol. 1, No. 9, September 2014, h. 613.
[15] Bustanul Karim, 2018, Prinsip Pembangunan Ekonomi Umat, (Yogyakarta:
Diandra Kreatif), h. 27.
[16] Rika Widianita, “Rasionalitas Konsumsi Rumah Tangga Muslim
Kota Bukittinggi”. Journal
Of Economic Studies, Vol. 1, No. 2, Januari-Juli 2017, h. 104-105.
[17] Al Mizan,
“Konsumsi Menurut Ekonomi Islam dan
Kapitalis”. Al Masraf (Jurnal Lembaga Keuangan dan Perbankan) Vol. 1, No.1,
Januari-Juni 2016, h. 19-22.
[18] Havis Aravik, 2017, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer,
(Jakarta: Kencana), h. 69.
[19]
Ikhawan Aulia Fatahillah, “Implementasi Konsep Etika dalam Konsumsi
Perspektif Ekonomi Islam”......, h. 166-168.
Perspektif Ekonomi Islam”......, h. 166-168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar