PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH PERBANKAN SYARIAH OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
OJK sebagaimana dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan berfungsi sebagai otoritas pembinaan dan pengawasan perbankan syariah, memiliki tugas untuk melakukan pengaturan, pembinaan dan pengawasan perbankan syariah agar perbankan syariah Indonesia dapt memenuhi fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan yang tetap memenuhi prinsip syariah maupun prudential regulation, serta turut berkontribusi terhadap pembangunan dan perekonomian nasional. Arah perekonomian nasional sejalan dengan karakteristik khas ekonomi dan keuangan syariah yaitu pemerataan kesejahteraan ekonomi, dimana aktivitas dan kegiatan perbankan dan keuanagan syariah diharapkan dapat menunjang pelaksanaan pembangunan nasional seperti melakukan fungsi untuk mendukung sektor riil melalui pembiayaan sesuai prinsip syariah dan transaksi riil barang dan jasa yang pada akhirnya dapat menggerakkan aktivitas perekonomian masyarakat.
Edukasi dan perlindungan (Konsumen/Nasabah) merupakan salah satu fungsi yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Oleh karena itu, dalam makalah ini sedikit akan penulis paparkan mengenai perlindungan hukum bagi nasabah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) oleh OJK dengan mendasarkan fungsi OJK di bidang Edukasi dan Perlindungan sebagaimana diatur antara lain dalam Pasal 4, 28, 29 dan 30 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.       Bagaimana perlindungan hukum pra-kontraktual oleh otoritas jasa keuangan ?
2.       Bagaimana perlindungan hukum kontraktual dan post-kontraktual oleh otoritas jasa keuangan ?

C.    TUJUAN
1.      Untuk memahami perlindungan hukum pra-kontraktual bagi nasabah perbankan syariah oleh otoritas jasa keuangan.
2.     Untuk memahami perlindungan hukum kontraktual dan post-kontraktual bagi nasabah perbankan syariah oleh otoritas jasa keuangan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERLINDUNGAN HUKUM PRA-KONTRAKTUAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
1.   Pengaturan dan Pengawasan terhadap Industri Perbankan Syariah oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Preventif
Pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan, khususnya terhadap bank syariah dan UUS, Bank Indonesia menggunakan PBI sebagai instrumen hukumnya. Pada konteks penyelenggara tugas  pengaturan pengawasan Bank Indonesia menyusun PBI, yakni untuk: a) menetukan kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan  yaqng wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS; b) menetukan persyaratan dan tata cara pemeriksaan yang dilakukan akuntan publik atau pihak lain atas nama Bank Indonesia; c) menentukan peryaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah (vide pasal 51, 52, dan 54 UU No. 21/2008)
Dengan adanya pengalihan tugas pengaturan dan pengawasan dari bank Indonesia kepada OJK khusunya yang diselenggarakan terhadap Bank Syariah dan UUS, maka terdapatr beberapa PBI yang menjadi acuan pelaksanaan tugas yang dimaksud yang penting untuk dipahami kedudukan dan keberlakuannya. Dengan demikian, menjadi penting untuk mempertimbangkan kedudukan PBI terhadap pasca OJK efektif melaksaakan tugas dan wewenang sebagai lembaga pengatur dan pengawas perbankan.
Untuk memehami kedudukan PBI dalam konteks hierarki pengaturan perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa “jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana  dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup pengaturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang DPRD provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, kepala Desa atau yang setingkat (vide pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011). Berdasarkan hal tersebut PBI diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan mengikat jika memenuhi dua hal yakni; sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sepanjang dibentuk berdasarkan kewenangan.
Merujuk pada penjabaran diatas maka kedudukan PBI pasca peralihan tugas pengaturan dan pengawasan kepada OJK dapat dijelaskan dalam 2 perspektif yakni: Pertama,  mendasarkan pada pasal 55 ayat  Undang-UNDANG Nomor 21 Tahun 2011 dinyatakan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan disektor perbankan bealih dari Bank Indonesia ke OJK. Kedua,  pasca fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia beralih ke OJK, maka PBI tetap mempunyai kekeuatan mengikat secara hukum.
Berdasrkan penjabaran diatas maka PBI yang telah dibentuk oleh BI akan tetap berlaku walaupun funsi, tugas, dan wewenang BI telah beralih ke OJK. Dengan tetap berlakunya PBI dalam penyelenggaraan pengaturan dan pengawsan terhadap Perbankan Syariah dan di sisi lain adanya kewenagan OJK untuk menetapkan peraturan dan keputusan OJK dan menetapakan peraturan mengenai pengawasan disektor jasa keuangan, maka akan ada kemungkinan terdapat perihal pengaturan dan pengawasann yang diaturberbeda pada PBI maupun peraturan OJK sehingga menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum.

2.   Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Perbankan Syariah melalui Sarana Edukasi
Berbeda dengan perbankan konvensional, terkait dengan hubungan antara nasabah dengan perbankan syariah bukan lgi sebagai kreditur dan debitur melainkan lebih kepada hubungan kemitraan. Hal ini terlihat pada klasifikasi nqasabah perbankan syariah sebagaimana telah dikemukakan diatas yaitu bahwa UUPS membedakan nasabah suatu bak syariah atau UUS menjadi tiga macam yakni:
a.       Nasabah penyimpan
b.       Nasabah investor
c.        Nasabah penerimah fasilitas
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah juga terlihat dalam UU nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sejak tahun 2001 aspek pengaturan perbankan diperluas dengan asper perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank. UUPK diberlakukan guna melakukan perbaikan pada sistem perbankan. Upaya-upaya tsb dituangkan ke dalam 4 aspek yaitu:
a.       Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah
b.       Pembentukan lembaga mediasi perbankan indipenden
c.        Penyusunan standar transparansi informasi produk
d.       Peningkatan edukasi untuk nasabah.
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlidungan konsumen (UUPK) merupakan payung hukum utama bagi perlindungan konsumen pada umumnya, termaksud sektor jasa keuangan.
Edukasi dan perlindungan merupakan fungsi vital dari OJK disamping fungsi pengaturan dan pengawasan. Pemahaman nasabah akan instrumen keuangan, termaksud didalamnya instrumen keuangan yang ada dalam industri perbankan syariah menjadi suatu keniscayaan. Dengan pemahaman akan instrumen keuangan syariah dimaksud, maka nasabah akan memahami hak dan kewajiban, serta  yang lebih penting lagi memahami keabsahan suatu transaksi keuangan syariah.
Pada triwulan ketiga 2013 telah dibentuk Financial Customer Care (FCC) sebagai tempat bagi konsumen keuangan dan masyarakat untuk memperoleh informasi, menyampaikan informasi dan pengaduan.
Perkembangan berikutnya adalah lahirnya peraturan OJK Nomor 1 tahun 2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Hukum perlindungan konsumen dinilai mengalami kemajuan pasca lahirnya peraturan ini.
Secara keseluruhan, peraturan OJK sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Selain itu, peraturan ini juga selaras dengan UUPK Nomor 8 Tahun 1999, khusunya pasal 19 UUPK tanggung jawab pelaku usaha.

3.   Penguatan Aspek Ketaatan terhadap Prinsip Syariah (Sharia Compliance) sebagai Perlindungan terhadap Hak Spiritual Nasabah Perbankan Syariah
Penguatan terhadap aspek syariah perlu dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi nasabah. Bahwa salah satu hak nasabah selaku konsumen sektor jasa keuangan berupa hak spiritual. Hak spiritual konsumen adalah hak yang dilandaskan pada ajaran agama konsumen yang bersangkutan. Dalam skop kajian berkait dengan perbankan syariah, maka konsumen yang dimaksud dalam jal ini adalah konsumen muslim yang menjadi sasaran awal didirikannya perbankan syariah, meskipun   hingga perkembangannya,. Konsumen perbankan syariah telah meluas hingga cukup banyak nasabah beragama non muslim.
Aspek sharia compliance merupakan aspek microprudential, oleh karena itu pasca OJK perlu dilakukan ikhtuiar dalam rangka meningkatkan ketaatan terhadap prinsip syariah, antara lain sebagaimana dipaparkan dalam uraian berikut:
Pertama, bahwa tujuan dari perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, seperti melakukan fungsi untuk mendukung sektor riil melalui pembiayaan sesuai prinsip syariah dan transaksi riil, yang mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka pemerataan kesejahteraan rakyat. Selain itu perbankan syariah juga melakukan  funsi sosial antara laindengan menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, serta sebagai salah satu bentuk LKS penerima wakaf uang. Kedua, bahwa selama ini telah terjalin kerjasamna yang efektif anatara BI dan DSN-MUI, baik dari sisi pengaturan maupun pengawasan terhadap perbankan syariah. Komunikasi dan kordinasi antara OJK dan DSN-MUI  diperlukan dalam rangka pembuatan regulasi dan pelaksanaan supervisi terhadap industri keuangan syariah. Ketiga, bahwa selama ini DPS harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiapa tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan bank bersangkutan. Tugas lain DPS adalah menelitui dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh DSN.

B. PERLINDUNGAN HUKUM KONTRAKTUAL DAN POST-KONTRAKTUAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
           1.   Perlindungan Hukum Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
OJK telah memberikan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa antara penyedia jasa keuangan dan konsumen jasa keuangan, termasuk di dalamnya sengketa antara nasabah dan industri perbankan syariah. Pada tahun 2014, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
Dalam penjelasan umum POJK tersebut disebutkan bahwa mekanisme penyelesaian Pengaduan di sektor jasa keuangan ditempuh melalui 2 tahapan yaitu penyelesaian Pengaduan yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan.
Pengaduan yang dimaksud adalah penyampaian ungkapan ketidakpuasan konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian atau potensi kerugian finansial pada konsumen yang diduga terjadi karena kesalahan atau kelalaian Lembaga Jasa Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh konsumen pada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau produk Lembaga Jasa Keuangan. Adapun penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan dilakukan berdasarkan asas musyawarah untuk mencapai mufakat. Realitas menunjukkan bahwa penyelesaian Pengaduan tidak selalu tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa eksternal antara konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan dapat dilakukan oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sejalan dengan karakteristik dan perkembangan di sektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis dan penuh inovasi, maka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang objektif, relevan, dan adil. Hal ini yang melatarbelakangi OJK menerbitkan peraturan mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan. Dalam melakukan fungsi ini diharapkan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa memenuhi prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektivitas.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan OJK No.1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan disebutkan bahwa:
(1)     Pengaduan wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Lembaga Jasa Keuangan.
(2)    Dalam hal ini tidak tercapai kesepakatan penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan dapat melakukan penyelesaian Sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(3)  Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
(4)   Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK.
(5)    Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia.
Adapun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang :
a.       Mempunyai layanan penyelesaian Sengketa paling kurang berupa :
1)       Mediasi;
2)       Ajudikasi; dan
3)       Arbitrase.
b.       Mempunyai peraturan yang meliputi :
1)       Layanan penyelesaian Sengketa;
2)       Prosedur penyelesaian Sengketa;
3)       Biaya penyelesaian Sengketa;
4)       Ketentuan benturan kepentingan dan afaliasi bagi mediator, ajudikator, dan arbiter; dan
5)       Kode etik bagi mediator, ajudikator dan arbiter.
c.    Menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan dan efisiensi dan efektivitas dalam setiap peraturannya;
d.       Mempunyai sumber daya untuk dapat melaksanakan pelayanan penyelesaian sengketa; dan
e.     Didirikan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi self regulatory organization.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka lembaga penyelesaian sengketa perbankan yang sudah dikenal sebelum peralihan wewenang dari Bank Indonesia ke OJK per 31 Desember 2013 masih tetap berlaku sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 2 Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan dan masuk dalam Daftar Lembaga-Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK.
Dengan diterbitkannya Peraturan OJK tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan bukan berarti OJK yang menyediakan lembaga alternatif tersebut. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa cukup diserahkan kepada lembaga-lembaga yang sudah ada. OJK diharapkan dapat memberikan daya paksa terhadap hasil dari penyelesaian pengaduan atau sengketa melalui lembaga-lembaga dimaksud. Hal ini terlihat dari ancaman sanksi oleh OJK terhadap Lembaga Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan OJK, yakni berupa peringatan tertulis, denda atau kewajiban membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, dan/atau pencabutan izin kegiatan usaha.

            2.   Perlindungan Hukum Melalui Lembaga Peradilan
Mengenai penyelesaian sengketa dalam Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditegaskan bahwa :
(1)     Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
(2)     Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad;
(3)     Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Dalam rangka penyelesaian sengketa antara nasabah dan Bank Syariah atau UUS sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dimungkinkan didasarkan pada kesepakatan yang tertuang dalam Akad, antara lain melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). BASYARNAS berfungsi sebagai instrumen hukum yang menangani perselisihan para pihak di lembaga keuangan syariah seperti bank, asuransi dan sebagainya. Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS harus dicantumkan secara jelas dan tegas dalam perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri setelah sengketa timbul.
Sesuai dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, para pihak dapat pula membentuk Majelis Arbitrase adHoc (yang dibentuk oleh mereka sendiri) atau menyelesaikan sengketanya melalui mediasi oleh seorang atau lebih mediator.
Adapun peluang memilih pengadilan di lingkungan Peradilan Umum melalui akad antara nasabah dan Bank Syariah atau UUS saat ini secara normatif sudah tidak dimungkinkan lagi, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan asas kepastian hukum yang merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Putusan dimaksud dilatarbelakangi oleh adanya permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi atas UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa apa yang diatur dalam Bab IX mengenai penyelesaian sengketa, yaitu Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) menimbulkan kontradiksi dan dapat menyebabkan adanya ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dimana dalam ayat (1) menyebutkan secara tegas jika terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah maka harus dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sementara ayat (2) memberi pilihan kepada para pihak yang terikat dalam suatu akad untuk memilih akan dilaksanakan di lingkungan peradilan mana jika terjadi sengketa serta memberikan pilihan penyelesaian sengketa yang menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Sedangkan UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama sebagaimana disebutkan di muka secara tegas menyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang termasuk dalam lingkungan sengketa ekonomi syariah.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perlindungan hukum bagi nasabah perbankan syariah selaku konsumen sektor jasa keuangan, OJK telah melakukan: Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen, hal ini ditandai dengan dibentuknya Direktorat Edukasi dan Perlindungan Konsumen yang lebih lanjut dikonkritkan dengan pembentukan FCC. Kedua, kebijakan kompensatoris berupa kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen, yakni dengan diberikannya kewenangan OJK untuk memberikan sanksi administratif pada lembaga keuangan dan mengajukan gugatan perdata atau menyelesaikan masalah dengan metode di luar pengadilan.

B.    Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita tentang pengetahuan ekonomi terutama tentang masalah perlindungan hukum bagi nasabah perbankan syariah. Aamiin...

DAFTAR PUSTAKA
Umam, Khotibul. 2016. Perbankan Syariah: Dasar-dasar dan Dinamika Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar: