Masjid-Masjid Tertua Di Indonesia~ Bag. 2



5. Masjid Agung Sang Ciptarasa, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat (1478)

Masjid Agung Sang Ciptarasa, Cirebon ini berada di wilayah territorial Keraton Kesepuhan Cirebon. Dibangun atas usulan dari Dewi Pakungwati, Istri pertama (permaisuri) Sunan Gunung Jati, selaku Sultan pertama Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati yang kemudian membangun masjid ini di tahun 1478 atau setahun setelah pembangunan Masjid Agung Demak dengan dukungan penuh dari para wali dan Raden Fatah, Sultan pertama Kesultanan Demak.

Bertindak sebagai Kontraktornya adalah Sunan Kalijaga, sedangkan arsiteknya adalah Raden Sepat yang sebelumnya juga merancang Masjid Agung Demak. Berbagai pihak menyebut masjid Agung Sang Ciptarasa ini sebagai pasangan Masjid Agung Demak, karena memang pada saat pembangunan Masjid Agung Demak sedang berlangsung, Sunan Gunung Jati memohon kepada Raden Fatah untuk membangun pasangan masjid tersebut di Cirebon.

Bangunan induk masjid ini berukuran 20x20 meter dengan atap limas berususun tiga sama persis seperti Masjid Agung Demak, hanya saja denah atap dan bangunannya tidak bujur sangkar tapi empat persegi panjang, konon bentuk tersebut mewakili sifat feminimnya, untuk membedakan dengan pasangannya di Demak yang berwatak Maskulin. Kini masjid ini sudah dilengkapi dengan Pendopo disekelilingnya hasil pembangunan tahun 1978 dimasa menteri pendidikan dan kebudayaan Syarif Thayeb.
6. Masjid Sultan Suriansyah (1526)
 
Masjid Sultan Suriansyah adalah sebuah masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Tuan Guru (1526-1550), Raja Banjar yang pertama masuk islam sekaligus Raja Banjar pertama di Kalimantan Selatan. Masjid ini terletak di utara Kecamatan Kesehatan, Banjarmasin Utara, Banjarmasin, daerah yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan ibukota Kesultanan Banjar untuk pertama kalinya.
Arsitektur tahap konstruksi dan atap tumpang tindih, merupakan masjid bergaya tradisional Banjar. Gaya masjid tradisional di Banjar mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan utama. Masjid ini dibangun di tepi sungai di Kecamatan Kesehatan. Hingga kini masjid Sultan Suriansyah terawat dengan baik dan makin ramai.
7. Masjid Menara Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah (1549)
 
Nama asli masjid ini sebenarnya adalah Masjid Al-Aqso, didirikan oleh Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus pada tahun 956H atau bertepatan dengan tahun 1549M. Namun lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai Masjid Menara Kudus, Karena memang bangunan menaranya yang berupa sebuah bangunan candi itu yang menjadi ciri khas dari masjid tua satu ini. Di dalam komplek masjid ini juga terdapat Makam Sunan Kudus. Masjid ini, konon dibangun menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari Palestina untuk peletakan batu pertamanya.
Sejarah Masjid Menara Kudus tak bisa dilepaskan dari sejarah Kota Kudusnya sendiri. Menurut (alm) Profesor Purbacaraka, seorang antropolog dari Universitas Udayana, Bali, nama kota Kudus berasal dari kata Al-Quds. Al-Quds adalah nama asli kota Jerusalem di Palestina tempat bedirinya Masjid Al-Aqso yang merupakan kiblat pertama umat Islam. Hal tersebut sejalan dengan pendapat para sejarawan yang mengatakan bahwa kota Kudus didirikan oleh para pelaut Arab Palestina, maka wajar bila kemudian masjid yang mereka bangun pun menggunakan nama Al-Aqso, untuk mengenang tanah kelahiran mereka.

Masjid Menara Kudus ini awalnya memang merupakan sebuah bangunan candi pada masa Hindu yang kemudian disesuiakan kegunaanya sebagai menara masjid. Dari bentuknya bangunan menaranya memiliki kemiripan dengan menara Kul Kul di Bali. Sedangkan ragam hiasnya memiliki kemiripan dengan candi-candi di Jawa Timur seperti Candi Jago dan Candi Singosari. Kehadiran Menara Candi di komplek Masjid Al-Aqso di Kudus ini memberikan gambaran betapa baiknya akulturasi budaya yang dilakukan oleh Sunan Kudus saat menyebarkan Islam disana.

8. Masjid Agung Banten, Kota Serang, Provinsi Banten (1552)

Masjid Agung Banten termasuk masjid tua yang penuh nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tak hanya dari Banten dan Jawa Barat, tapi juga dari berbagai daerah di pulau Jawa. Masjid Agung Banten terletak di kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang.

Masjid Agung Banten dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Banten yang juga putra pertama Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon. Masjid ini dikenali dari bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk sebuah bangunan mercusuar.

Masjid Agung Banten dirancang oleh 3 arsitek. Yang Pertama adalah Raden Sepat, Arsitek Majapahit yang sebelumnya telah berjasa merancang Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Arsitek kedua adalah arsitek China bernama Cek Ban Su ambil yang  memberikan pengaruh kuat pada bentuk atap masjid bersusun 5 mirip layaknya pagoda China. Karena jasanya dalam membangun masjid itu Cek Ban Su memperoleh gelar Pangeran Adiguna.

Lalu arsitek ketiga adalah Hendrik Lucaz Cardeel, arsitek Belanda yang kabur dari Batavia menuju Banten di masa pemerintahan Sultan Haji tahun 1620, dalam status mualaf dia merancang menara masjid serta bangunan tiyamah di komplek Masjid Agung Banten. Karena jasanya tersebut, Cardeel kemudian mendapat gelar Pangeran Wiraguna. Menilik bentuk dan denah bangunannya menunjukkan bahwa Masjid Agung Banten yang kini berdiri tidak dibangun sekaligus melainkan secara berkelanjutan sejak sultan pertama hingga ke masa pemerintahan Sultan Haji.
Di masjid ini juga terdapat komplek makam sultan-sultan banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya. Masjid Agung Banten juga memiliki paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti masjid agung. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur belanda kuno yang dirancang oleh Hendick Lucasz Cardeel. Biasanya, acara-acara seperti rapat, dan kajian Islami dilakukan di sini.
Menara yang menjadi ciri khas sebuah masjid juga dimiliki Masjid Agung Banten. Terletak di sebelah timur masjid, menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara ini, pengunjung dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Dahulu, selain digunakan sebagai tempang mengumandangkan azan, menara yang juga dibuat oleh Hendick Lucasz Cardeel ini digunakan sebagai tempat menyimpan senjata.

9. Masjid Mantingan, Jepara, Jawa Tengah (1559M)


Terletak di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. 5 km kearah selatan dari pusat kota Jepara. Dibangun dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, kereta api undakannya didatangkan dari Makao. Sedangkan bangunan atap hingga bubungan-nya bergaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru, sedang dinding sebelah tempat imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa, dan penari penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.

Masjid Mantingan didirikan pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, sesuai dengan pernyataan yang terdapat didalam masjid RUPA BRAHMANA WANASARI yang ditulis oleh Raden Toyib yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hadiri, Adipati Jepara, yang juga adik Ipar dari Sultan Trenggono (Sultan Demak).

Raden Toyib berasal dari Aceh,  beliau merupakan utusan Sultan Aceh, setelah mempelajari agama Islam di Mekah lalu bersyiar di Cina, kemudian berlabuh di tanah Jawa, bermukim di Jepara dan menikah dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono), saudara perempuan dari Sultan Trenggono Penguasa Kesultanan Demak Terakhir. Dinobatkan sebagai Adipati Jepara dengan gelar Sultan Hadiri berkuasa pada periode 1536-1549 sampai beliau meninggal dan dimakamkan disebelah Masjid yang dia dirikan yaitu Masjid Mantingan. Kekuasaan pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh Sultan Hadiri, Ratu Kaliyamat tahun 1549-1579.
Pengawasan pekerjaan konstruksi masjid ini tak lain adalah Babah Liem Mo Han. Di dalam kompleks masjid terdapat makam Sultan Hadiri. Selain itu ada juga makam Waliullah Mbah Abdul Jalil, yang disebut sebagai nama lain Syekh Siti Jenar.


10. Masjid Tua Al-Hilal Katangka, Gowa, Sulawesi Selatan (1603)


Masjid Al-Hilal terletak di desa Katangka, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
Nama resmi masjid ini adalah Masjid Al-Hilal, karena berada di desa Katangka maka disebut sebagai Masjid Al-Hilal Katangka, sebagian lagi masyarakat setempat menamainya dengan nama Masjid Agung Syeh Yusuf. Ulama Kharismatik yang merupakan pahlawan nasional di Indonesia dan juga pahlawan nasional di Afrika Selatan.
Masjid Tua Al-Hilal dibangun pada masa pemerintahan raja Gowa XIV bernama Aku Manga'ragi Daeng - Manrabbiakaraeng Lakiung (Sultan Alauddin I) tahun 1603, Sultan Alauddin adalah Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam. Sultan Alauddin adalah kakek dari I Mallombassi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Tumenanga ri Balla Pangkana atau yang dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke enam belas. Kemudian pada tahun 1605 m, masjid ini benar-benar dirubah untuk diberi nama Masjid Katangka di Gowa.
Masjid berukuran 14,1 x struktur 14,4 meter dan sebuah bangunan tambahan 4,1 x 14,4 meter. Tinggi bangunan 11,9 meter dan 90 meter dinding tebel, bahan baku dari batu bata dengan atap ubin dan lantai porselen. Arsitektur masjid Tua Al-Hilal Katangka ini telah menginspirasi gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pada tahun 2009 untuk mendirikan masjid masjid dengan bentuk yang sama di 24 kabupaten/kota di Sulsel. Dimulai dengan pembangunan masjid di kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep (Pangkajene kepulauan) Sulawesi Selatan

11. Masjid Tua Palopo, Kota Palopo, Sulawesi Selatan (1604M)


Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu berada di kota Palopo,  Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu tahun 1604 M. Di beri nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan  Masjid Tua Palopo ini. Masjid ini memiliki luas 15 meter persegi.

Masjid ini merupakan masjid kerajaan yang didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya dibawah kekuasaan Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Ketika ia naik tahta menggantikan ayahnya tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama menjadi Palopo.

https://www.facebook.com/notes/-sahabat-cinta-berbagi-ilmu-/10-masjid-tertua-di-indonesia/150404955021626

Tidak ada komentar: